“ASEAN WAY” SEBAGAI NORM AND ORDER REGIONAL ASIA TENGGARA

| Kamis, 18 Oktober 2012

 Sebuah komunitas dalam berbagai tingkatan selalu cenderung memiliki pandangan yang tidak jarang berlaku pula sebagai identitasnya. Termasuk ASEAN, Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara, juga memiliki pandangan tersendiri yang disebut dengan ASEAN Way. Inti dari pandangan ASEAN Way merupakan wujud identitas budaya ketimuran, yakni mengedepankan prinsip musyawarah mufakat sebagai landassan norm and order bagi hubungan antar negara ASEAN. Selain itu, dengan latar belakang historis oleh hampir seluruh negara-negara Asia Tenggara yang pernah mengalami penjajahan, maka prinsip berikutnya yang juga ditekankan adalah prinsip non-intervensi atau tidak turut campur rumah tangga suatu negara. Hal ini merupakan akibat dari kelangkaan kedaulatan yang telah dialami oleh negara-negara tersebut selama puluhan tahun. Beranjak ke ranah aplikasinya, ASEAN Way ternyata memiliki banyak kendala. Mulai dari persoalan kesamaan identitas regional yang masih diragukan, hingga kritik-kritik terhadap prinsip ASEAN Way yang menjadi dilematis jika dihadapkan pada kasus-kasus tertentu di era globalisasi seperti sekarang ini. Maka sangat wajar sekali jika pembahasan mengenai bagaimana prospek ASEAN di masa datang menjadi patut untuk dibicarakan. Tulisan ini akan mengulas mengenai maksud dari ASEAN Way yang berposisi sebagai norm and order, sejauh mana penggunaan ASEAN Way dalam meminimalisir intervensi asing, apakah ASEAN Way menjadi sesuatu yang bisa mendorong perkembangan ASEAN dan negara-negara anggota ASEAN, serta bagaimana prospek ASEAN di masa mendatang.     
            Menjawab pertanyaan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan ASEAN Way sebagai norm and order, ASEAN Way berposisi sebagai sudut pandang pada nilai-nilai yang diseragamkan yang bertujuan untuk menciptakan keteraturan hubungan antar negara ASEAN. Tujuannya adalah untuk mencegah chaos yang seringkali terjadi dalam kontur masyarakat multietnis seperti dalam negara-negara kepulauan Asia Tenggara. ASEAN Way juga dijadikan landasan untuk mengatasi berbagai permasalahan, termasuk meningkatnya tensi antar negara yang pada dasarnya juga didasari oleh permasalahan etnis, seperti kasus klaim budaya antara Indonesia dan Malaysia. ASEAN Way menjadi solusi endemik Asia Tenggara sebagai upaya stabilitator regional.
            Salah satu prinsip utama ASEAN Way adalah non-intervensi. Dalam prinsip ini, ASEAN sebagai sebuah lembaga regional tidak dibenarkan untuk turut mencampuri terlalu jauh permasalahan-permasalahan internal maupun bilateral negara-negara anggota ASEAN. Hal ini merupakan influence dari catatan sejarah negara-negara ASEAN yang hampir semua pernah mengalami penjajahan, sehingga kedaulatan menjadi hal sakral yang benar-benar harus diutamakan. Dalam hal ini, prinsip non-intervensi merupakan bentuk penghormatan terhadap kedaulatan negara. Mengenai efektivitas ASEAN Way dalam meminimalisir intervensi asing, tidak ada suatu pernyataan pasti dari Acharya (2005) dan Narine (2002), namun jika dilihat dalam kenyataannya, ASEAN Way tidak terlalu mengambil peran yang besar dalam upaya meminimalisir intervensi asing, mengingat intervensi asing (yang sering dianalogikan sebagai negara Barat) masuk melalui jalan kerjasama bilateral langsung dengan negara-negara anggota ASEAN. Karena prinsip ASEAN Way adalah non-intervensi, maka ASEAN Way dalam hal ini tidak dapat banyak memengaruhi.
            ASEAN Way oleh Acharya (2005) dan Narine (2002) dinilai memiliki beberapa kelemahan yang fundamental. Yang pertama adalah mengenai identitas. Negara-negara ASEAN dianggap belum memiliki satu perasaan identitas regional yang sama, terlebih lagi Narine (2000) mengatakan bahwa belum tercipta identitas nasional secara utuh mengingat masih banyaknya konflik etnis di beberapa negara anggota. Narine juga berpendapat bahwa “.. ASEAN identity, therefore, quite shallow.” Pada intinya, implementasi ASEAN Way terhambat oleh kompleksitas yang belum terselesaikan dalam urusan internal beberapa negara anggota. Selanjutnya, hal kedua yang dipermasalahakan adalah prinsip non-intervensi. Prinsip ini dianggap terlalu utopis jika dikaitkan dengan tujuannya yang menghormati kedaulatan negara. ASEAN dianggap menjadi sebuah organisasi yang impoten karena tidak bisa banyak membantu dalam permasalahan-permasalahan area Asia Tenggara yang akhirnya semakin berlarut-larut. Prinsip non-intervensi berada dalam titik yang dilematis jika dikaitkan dengan aspek kedaulatan negara. Jika hal ini dibiarkan, maka ASEAN Way tidak akan banyak mendorong perkembangan ASEAN dan negara-negara anggotanya sekaligus memiliki prospek yang tidak gemilang di masa mendatang.
            ASEAN Way pada dasarnya merupakan kekayaan local genius warga Asia Tenggara yang patut dibanggakan. ASEAN Way dapat dipergunakan sebagai identitas, apabila implementasinyapun berada dalam proporsi yang tepat. Menganai masalah non-intervensi, ASEAN diharapkan dapat melihat situasi, sehingga dapat diambil tindakan apabila permasalahan tertentu memang membutuhkan mediasi dan dianggap masih wajar untuk ‘diintervensi’. Hal ini bertujuan agar ASEAN tidak hanya memberikan fungsi diplomatik negara-negara Asia Tenggara dalam dunia internasional, tetapi juga fungsional menyelesaikan permasalahan-permasalahan regional. ASEAN juga pada dasarnya telah memberikan keuntungan bergainning position yang bagus bagi negara-negara anggotanya dalam panggung internasional. Melalui berbagai konferensi tingkat tinggi yang akhir-akhir ini gencar dilanjutkan, diharapkan membawa inovasi dan dapat memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan yang tadi telah dikemukakan. Khusus mengenai masalah identitas, ASEAN sendiri sedang mengembangkan konsep ASEAN Community yang menyatukan berbagai warga negara Asia Tenggara dalam satu payung sosial tunggal. Selain itu, konsep ASEAN Community juga ikut disosialisasikan melalui media-media sosial sehingga dapat menjaring segmen yang lebih luas termasuk pemuda. Melihat upaya ini, prospek ASEAN kedepannya menjadi sangat diharapkan. Namun, hal ini juga tergantung bagaimana ASEAN dapat menempatkan ASEAN Way-nya secara tepat dan proporsional.

Referensi:
-          Acharya, Amitav. 2005. “Do Norms and Identity Matter? Community and Power in Southeast Asia’s Regional Order”, dalam The Pacific Review, London: Routledge.
-          Narine, Shaun. 2002. ASEAN in The Twenty-First Century, dalam Explaining ASEAN: Regionalism in Southeast Asia, London: Lynne Rienner Publishers Inc.

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲