Newest Post

The ASEAN Ways

| Kamis, 18 Oktober 2012
Baca selengkapnya »

The ASEAN Ways

Dalam artikel yang ia tuliskan, Amitav Acharya menjelaskan bahwa ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara memiliki beberapa aspek penting dalam pembentukannya. Aspek-aspek ini sangat berpengaruh dalam eksistensi setiap kebijakan yang dibentuk ASEAN. Beberapa aspek tersebut adalahnorms, identity, community dan power.
Acharya sendiri dalam tulisannya mengutip Michael Leifer yang mengatakan bahwa ASEAN memiliki sebuah model penyelesaian konflik secara informal dimana dialog dan konsultasi menjadi bagian utama dari upaya penyelesaian persengketaan antar negara ASEAN dibandingkan dengan conventional collective security seperti yang dilakukan organisasi inter-state lainnya yang dinamakan dengan ASEAN Way. (Acharya, 2005:99)
ASEAN way sendiri diberlakukan didalam ARF (Asean Regional Forum), sebuah forum yang dibentuk negara-negara ASEAN dalam upaya penyelesaian konflik. Tidak ada upaya dengan menggunakan kekerasan didalam praktiknya, mediasi menjadi pilihan utama. Non-intervensi dan preventive diplomacyadalah dua prinsip yang mendasari kinerja ARF dalam menyelesaikan konflik menggunakan ASEAN way. Dalam website resminya, ASEAN menjelaskan tentang norma ASEAN Way sebagai
“With the hindsight of history, we can say that this aspect of the ASEAN Way has served Southeast Asia well.  By not forcing its incredibly diverse and mutually suspicious members into legally binding standards, ASEAN has done the remarkable job of moving its members from animosity to the close cooperative relationship that they enjoy today, a relationship in which violent conflict is all but unthinkable.  We can say that the ASEAN Way has served ASEAN well... It is not just a matter of history; it is also a matter of culture.  Southeast Asians’ way of dealing with one another has been through manifestations of goodwill and the slow winning and giving of trust.  And the way to arrive at agreements has been through consultation and consensus – mushawara and mufakat – rather than across-the-table negotiations involving bargaining and give-and-take that result in deals enforceable in a court of law.” (www.aseansec.org, 2012)

Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa perasaan kebersamaan sebagai komunitas dan sejarah identitas budaya masyarakat Asia Tenggara lah yang menjadikan ASEAN Way berbeda dengan conflict resolution management yang diterapkan oleh EU sebagai badan regional lainnya.
Menurut Goh, norma dan prinsip dasar ASEAN mengenai ASEAN Way datang jauh sebelum ASEAN terbentuk, yakni ketika ASA (Association of Southeast Asia) terbentuk. Konsep kebersamaan, shared values of culture sebagai basis collective identity telah terbentuk, dimana pendiri ASA melihat bahwa mereka bukan sekedar negara-negara Asia Tenggara, namun mereka juga merupakan bagian dari budaya Asia (Goh, 2003: 113). Goh dalam artikelnya juga menjelaskan mengenai perbedaan antara ASEAN Way dan prinsip Non-intervensi. Menurut Goh, ASEAN way merupakan sebuah hal yang lebih besar dari sekedar prinsip non-intervensi, ASEAN way adalah sebuah cara penyelesaian konflik yang efektif dimana ASEAN way memainkan peran yang amat penting dalam upaya penyelesaian konflik di Kamboja (Goh, 2003:118).
Menurut pendapat Narine, ASEAN di abad 21 mengalami banyak sekali tantangan, dimana hal ini terjadi karena adanya tendensi inability to reform yang melanda ASEAN itu sendiri, dimana Narine mengatakan bahwa ketidakmampuan ASEAN saat ini dalam mengkoordinasi kepentingan ekonomi, sosial dan politiknya berbahaya di bidang ekonomi (Narine, 1999:206) sementara menurut Goh, ASEAN way sebagai upaya penyelesaian konflik dapat menjadi sebuah kajian di masa depan, alternatif dari upaya penyelesaian konflik koersif dan intervensi yang kini marak dilakukan oleh banyak negara di dunia.
Penulis berpendapat bahwa ASEAN berdiri berdasarkan prinsip-prinsip ketimuran, budaya dan tradisi pemikiran Asia yang mempengaruhi seluruh aspek didalam ASEAN itu sendiri. Tidak hanya dibidangpreventive action dan conflict resolution saja, tradisi ini mempengaruhi tindakan dan kebijakan ASEAN terkait kerjasama ekonomi, politik dan budaya. ASEAN menolak menggunakan hard power dan mengeksplorasi soft power lebih besar dalam aktivitasnya. Namun, menurut pendapat penulis hal tersebut tidak selamanya baik karena dapat dilihat bahwa terlalu terpakunya negara-negara ASEAN dengan soft power ini membuat mereka lupa bahwa hard power tetap dibutuhkan. Apabila keduanya disandingkan akan lebih baik, demikian pula dengan kritisi Narine, penulis sependapat dengan Narine bahwa dengan menjunjung nilai-nilai ketimuran, ASEAN kurang dapat mencapai goal dan tujuannya dan kooperasi negara-negara saat ini tetap harus diperkokoh dan diperbaiki, walaupun tidak menghilangkan budaya Asia yang menjadi ciri khusus ASEAN sebagai badan regional Asia Tenggara.

Referensi:
Acharya, Amitav. 2005. Do Norms and Identity Matter? Community and Power in Southeast Asia’s Regional Order. The Pacific Review,Vol 1., pp 95-118
Goh, Gillian. 2003. “The 'ASEAN Way' – Non-Intervention and ASEAN's Role in Conflict Management”. Stanford Journal of East Asian Affairs., pp. 113-118
Narine, S. 1999. ASEAN into the twenty-first century. The Pacific Review,Vol. 12 No.3., pp. 357-380
http://www.aseansec.org/2849.htm diakses pada 14 Mei 2012

Sumber : Les Journals

The ASEAN Ways

Posted by : Unknown
Date :Kamis, 18 Oktober 2012
With 0komentar

ASEAN WAY

|
Baca selengkapnya »

Claudya Tio Elleossa
070912077
Dalam pelaksanaannya ASEAN memiliki norma-norma tersendiri yang mana dikenal sebagai ASEAN Way dimana berkenaan dengan norma non intervensi, non penggunaan angkatan bersenjata, mengejar otonomi regional, serta menghindaricollective defense. (Khoo, 2004: 38)
Sebagai bentuk kerja sama regional, terdapat banyak sekali titik sensitive yang mungkin dapat menjadi sebuah pemicu permasalahan baru jika sedari awal tidak dibuat ketentuan yang mengatur setiap negara yang ada. Disinilah ASEAN Wayberperan, seperti yang dikatakan oleh Khoo, pada dasarnya ASEAN Waymemuat norma-norma yang mengatur segala tindakan setiap aktor negara. Misalnya, norma non-intervensi yang mengatur bagaimana kerja sama ASEAN tidak ‘menghalalkan’ ikut campur berlebih dalam permasalahan internal, dan norma non penggunaan angkatan bersenjata yang membuat setiap negara dalam kawasan Asia Tenggara ini bersama menghindari konflik yang mengancam keamanan.
Pada dasarnya, ASEAN Way menggunakan metode manajemen konflik didasarkan pada musyawarah dengan tujuan agar tidak terdapat pihak hegemon tertentu yang mendominasi. Dalam catatan sejarahnyam, ASEAN Way telah ‘menelurkan’ satu produk ASEAN dalam menangani isu keamanan, yaitu Zone of Peace Freedom and Nationalis (ZOPFAN). Dimana ZOPFAN bertujuan untuk menjaga stabilitas keamanan. Selain itu ASEAN Way juga diterapkan ketika terjadi konflik di wilayah Indochina yang melibatkan Kamboja, Thailand serta Vietnam tahun 1979, dimana Vietnam yang mengambil alih pemerintahan kamboja dengan menggulingkan rezim polpot dianggap telah melanggar prinsip non-intervensi. Penyelesaian dilakukan melalui pertemuan Jakarta Informal Meeting yang berlangsung selama dua kali dan berhasil memberikan dampak yang positif, yang mana kemudian berujung pada penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja.
Dalam prosesnya, terdapat banyak sekali perbaikan yang dilakukan pihak ASEAN dalam penerapan ASEAN Way ini, berangkat dari berbagai kritikan yang sangsi akan keefektifan ASEAN Way dalam menyelesaikan konflik, atau setidaknya menghindari lahirnya konflik. Banyak pihak yang pesimis akan keberhasilan ASEAN Way, menurut saya hal ini dikarenakan pandangan bahwa ASEAN Way hanya sebuah kumpulan norma dan prinsip, tidak dibekukan menjadi sebuah hukum regional yang memiliki legitimasi untuk mengatur tindakan negara secara tegas. Penyempurnaan dilakukan bermula dari proposal Thailand mengenai Flexible Engagement di tahun 1998 merupakan bentuk pembicaraan yang dilakukan oleh negara anggota ASEAN untuk membicarakan tentang masalah domestik serta kebijakan didalam negeri, tanpa ada maksud untuk mengintervensi negara satu sama lain (Santika, 2011)
Fleksibelitas hubungan yang terjadi diantara anggota ASEAN harus senantiasa menghindarkan intervensi pihak asing yang dapat mempengaruhi dinamika hubungan negara-negara ASEAN (Haacke, 1999: 584). Sependapat dengan pernyataan Haacke, banyak pengamat menilai keberhasilan ASEAN sejauh ini harus dengan tegas membuat ‘jarak aman’ antara kemandirian regional dari intervensi asing. Permasalahan yang kemudian muncul adalah akibat dari globalisasi yang membuat batas pembeda antara isu domestik dan isu internasional begitu kabur. Santika menyatakan bahwa isu semacam Hak asasi manusia dan demokrasi mungkin terjadi dalam tingkat domestik negara, namun hal ini telah menjadi salah satu konsen isu low politic bagi semua negara. Keadaan ini membuat prinsip non-intervensi dari ASEAN Way menjadi sebuah bentuk ambiguitasan tersendiri. Menurut Santika, dalam situasi ini penerapan prinsip non intervensi secara tegas mulai menjadi tidak relevan. Prinsip ini harus diartikan menjadi cara yang lebih fleksibel. Pernyataan Menlu Thailand Surin Pitsuwan dalam artikel Ramcharan (2000:75) juga agaknya senada dengan pandangan Santika, bahwa prinsip ASEAN mengenai non-intervensi perlu diganti dengan intervensi yang konstruktif. Dalam artian, perlu adanya intervensi ketika terjadi permasalahan di suatu negara yang berpotensi mengancam kestabilan regional.
Banyak pihak sepakat untuk melakukan intervensi atau pelibatan hanya dalam keadaan-keadaan tertentu misalnya saat terjadi permasalahan yang dapat memberikan ancaman terhadap identitas ASEAN sebagai grup regional dimana negara yang demokrastis dan otoritas dapat muncul secara bersamaan; atau permasalahan yang dapat berakibat buruk pada rezim keamanan yang sebelumnya telah berada dalam bahaya sebagai akibat dari kekacauan sosial-ekonomi yang merupakan akibat dari krisis finansial regional (Ramcharan, 2000: 79). Komitmen dan saling percaya antar negara anggota merupakan suatu dasar fundamental untuk menerapkan perubahan ini. Ketika ASEAN sudah berhasil mencapai tahap integrasi yang utuh, maka prinsip intervensi konstruktif dalamASEAN Way seharusnya bukan merupakan sebuah hal yang tabu lagi.
Kesimpulan dan Opini
Berbagai kritik substansial ditujukan terhadap konsep ASEAN Way ini. Sebagian besar pihak yang sangsi mempertanyakan bagaimana kumpulan norma dan prinsip ini akan berhasil mengatur tindakan dan komitmen dari setiap negara anggota. Kepesemisan banyak pihak ini dalam beberapa titik akhirnya terbentur dengan kenyataan bahwa ASEAN Way dalam catatan sejarahnya telah cukup berhasil menunjukkan sumbangsih positifnya dalam penyelesaian konflik dan menjaga stabilitas regional. Hal yang perlu dilakukan bukan lagi bagaimana menemukan sebauh ‘way’ yang baru, namun menyempurnakan ASEAN WAY ini dengan adaptasi terhadap kondisi yang sedang terjadi dan tujuan ke depan, salah satunya adalah dengan bentuk intervensi konstruktif. Untuk kedepan, menurut saya, ASEAN Way akan menjadi suatu hal yang semakin penting mengingat adanya target untuk menuju pada integrasi ASEAN secara menyeluruh.

Referensi :
Khoo, Nicholas. 2004. Deconstructing the ASEAN Security Community : a Review Essay. Oxford University Press and Japan Association of International Relation. International Relations of the Asia-Pasific Volume 4 pp: 35-46
Haacke, Jürgen. 1999. The Concept of Flexible Engagement and The Practice of Enhanced Interaction : Intramural Challenges to The ‘ASEAN Way’, dalamThe Pacific Review, Vol 12 No. 4 1999. London: Taylor & Francis Ltd. Pp: 281-611.
Nischalke, Tobias Ingo. 2000. Insights from ASEAN’s Foreign Policy Co-operation: The “ASEAN Way”, a Real Spirit or a Phantom?Dalam Contemporary Southeast Asia, Volume 22, Number 1, April.
Ramcharan, Robin. 2000. ASEAN and Non-Interference: A principal Maintened.dalam Contemporary Southeast Asia; April 2000; 22, 1; ABI/INFORM Global. Pg. 60-88

Sumber : O-Jurnals

ASEAN WAY

Posted by : Unknown
Date :
With 0komentar

“ASEAN WAY” SEBAGAI NORM AND ORDER REGIONAL ASIA TENGGARA

|
Baca selengkapnya »

 Sebuah komunitas dalam berbagai tingkatan selalu cenderung memiliki pandangan yang tidak jarang berlaku pula sebagai identitasnya. Termasuk ASEAN, Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara, juga memiliki pandangan tersendiri yang disebut dengan ASEAN Way. Inti dari pandangan ASEAN Way merupakan wujud identitas budaya ketimuran, yakni mengedepankan prinsip musyawarah mufakat sebagai landassan norm and order bagi hubungan antar negara ASEAN. Selain itu, dengan latar belakang historis oleh hampir seluruh negara-negara Asia Tenggara yang pernah mengalami penjajahan, maka prinsip berikutnya yang juga ditekankan adalah prinsip non-intervensi atau tidak turut campur rumah tangga suatu negara. Hal ini merupakan akibat dari kelangkaan kedaulatan yang telah dialami oleh negara-negara tersebut selama puluhan tahun. Beranjak ke ranah aplikasinya, ASEAN Way ternyata memiliki banyak kendala. Mulai dari persoalan kesamaan identitas regional yang masih diragukan, hingga kritik-kritik terhadap prinsip ASEAN Way yang menjadi dilematis jika dihadapkan pada kasus-kasus tertentu di era globalisasi seperti sekarang ini. Maka sangat wajar sekali jika pembahasan mengenai bagaimana prospek ASEAN di masa datang menjadi patut untuk dibicarakan. Tulisan ini akan mengulas mengenai maksud dari ASEAN Way yang berposisi sebagai norm and order, sejauh mana penggunaan ASEAN Way dalam meminimalisir intervensi asing, apakah ASEAN Way menjadi sesuatu yang bisa mendorong perkembangan ASEAN dan negara-negara anggota ASEAN, serta bagaimana prospek ASEAN di masa mendatang.     
            Menjawab pertanyaan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan ASEAN Way sebagai norm and order, ASEAN Way berposisi sebagai sudut pandang pada nilai-nilai yang diseragamkan yang bertujuan untuk menciptakan keteraturan hubungan antar negara ASEAN. Tujuannya adalah untuk mencegah chaos yang seringkali terjadi dalam kontur masyarakat multietnis seperti dalam negara-negara kepulauan Asia Tenggara. ASEAN Way juga dijadikan landasan untuk mengatasi berbagai permasalahan, termasuk meningkatnya tensi antar negara yang pada dasarnya juga didasari oleh permasalahan etnis, seperti kasus klaim budaya antara Indonesia dan Malaysia. ASEAN Way menjadi solusi endemik Asia Tenggara sebagai upaya stabilitator regional.
            Salah satu prinsip utama ASEAN Way adalah non-intervensi. Dalam prinsip ini, ASEAN sebagai sebuah lembaga regional tidak dibenarkan untuk turut mencampuri terlalu jauh permasalahan-permasalahan internal maupun bilateral negara-negara anggota ASEAN. Hal ini merupakan influence dari catatan sejarah negara-negara ASEAN yang hampir semua pernah mengalami penjajahan, sehingga kedaulatan menjadi hal sakral yang benar-benar harus diutamakan. Dalam hal ini, prinsip non-intervensi merupakan bentuk penghormatan terhadap kedaulatan negara. Mengenai efektivitas ASEAN Way dalam meminimalisir intervensi asing, tidak ada suatu pernyataan pasti dari Acharya (2005) dan Narine (2002), namun jika dilihat dalam kenyataannya, ASEAN Way tidak terlalu mengambil peran yang besar dalam upaya meminimalisir intervensi asing, mengingat intervensi asing (yang sering dianalogikan sebagai negara Barat) masuk melalui jalan kerjasama bilateral langsung dengan negara-negara anggota ASEAN. Karena prinsip ASEAN Way adalah non-intervensi, maka ASEAN Way dalam hal ini tidak dapat banyak memengaruhi.
            ASEAN Way oleh Acharya (2005) dan Narine (2002) dinilai memiliki beberapa kelemahan yang fundamental. Yang pertama adalah mengenai identitas. Negara-negara ASEAN dianggap belum memiliki satu perasaan identitas regional yang sama, terlebih lagi Narine (2000) mengatakan bahwa belum tercipta identitas nasional secara utuh mengingat masih banyaknya konflik etnis di beberapa negara anggota. Narine juga berpendapat bahwa “.. ASEAN identity, therefore, quite shallow.” Pada intinya, implementasi ASEAN Way terhambat oleh kompleksitas yang belum terselesaikan dalam urusan internal beberapa negara anggota. Selanjutnya, hal kedua yang dipermasalahakan adalah prinsip non-intervensi. Prinsip ini dianggap terlalu utopis jika dikaitkan dengan tujuannya yang menghormati kedaulatan negara. ASEAN dianggap menjadi sebuah organisasi yang impoten karena tidak bisa banyak membantu dalam permasalahan-permasalahan area Asia Tenggara yang akhirnya semakin berlarut-larut. Prinsip non-intervensi berada dalam titik yang dilematis jika dikaitkan dengan aspek kedaulatan negara. Jika hal ini dibiarkan, maka ASEAN Way tidak akan banyak mendorong perkembangan ASEAN dan negara-negara anggotanya sekaligus memiliki prospek yang tidak gemilang di masa mendatang.
            ASEAN Way pada dasarnya merupakan kekayaan local genius warga Asia Tenggara yang patut dibanggakan. ASEAN Way dapat dipergunakan sebagai identitas, apabila implementasinyapun berada dalam proporsi yang tepat. Menganai masalah non-intervensi, ASEAN diharapkan dapat melihat situasi, sehingga dapat diambil tindakan apabila permasalahan tertentu memang membutuhkan mediasi dan dianggap masih wajar untuk ‘diintervensi’. Hal ini bertujuan agar ASEAN tidak hanya memberikan fungsi diplomatik negara-negara Asia Tenggara dalam dunia internasional, tetapi juga fungsional menyelesaikan permasalahan-permasalahan regional. ASEAN juga pada dasarnya telah memberikan keuntungan bergainning position yang bagus bagi negara-negara anggotanya dalam panggung internasional. Melalui berbagai konferensi tingkat tinggi yang akhir-akhir ini gencar dilanjutkan, diharapkan membawa inovasi dan dapat memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan yang tadi telah dikemukakan. Khusus mengenai masalah identitas, ASEAN sendiri sedang mengembangkan konsep ASEAN Community yang menyatukan berbagai warga negara Asia Tenggara dalam satu payung sosial tunggal. Selain itu, konsep ASEAN Community juga ikut disosialisasikan melalui media-media sosial sehingga dapat menjaring segmen yang lebih luas termasuk pemuda. Melihat upaya ini, prospek ASEAN kedepannya menjadi sangat diharapkan. Namun, hal ini juga tergantung bagaimana ASEAN dapat menempatkan ASEAN Way-nya secara tepat dan proporsional.

Referensi:
-          Acharya, Amitav. 2005. “Do Norms and Identity Matter? Community and Power in Southeast Asia’s Regional Order”, dalam The Pacific Review, London: Routledge.
-          Narine, Shaun. 2002. ASEAN in The Twenty-First Century, dalam Explaining ASEAN: Regionalism in Southeast Asia, London: Lynne Rienner Publishers Inc.

Next Prev
▲Top▲